Plt Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama

Saya Tidak Mungkin Seperti Jokowi

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Thahaja Purnama atau Ahok.
Sumber :
  • VIVAnews/Muhamad Solihin

VIVAnews - Sampai saat ini, siapa pengganti Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta masih menjadi polemik. Baik Partai Gerindra maupun PDI Perjuangan sama-sama merasa berhak atas posisi tersebut.

Berawal dari Hobi Pakai Brand Mewah, Selebgram Berusia 70 Tahun Ini Debut di Paris Fashion Week

Di sisi lain, Ahok juga merasa berwenang menentukan siapa yang akan menjadi wakilnya. Hal itu mengacu pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang (Perppu) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Beleid itu menyatakan, jika terjadi kekosongan wakil, gubernur, bupati, dan wali kota bisa mengajukan wakilnya dalam waktu paling lambat lima belas hari setelah pelantikan gubernur, bupati, dan wali kota.

Terinspirasi Langkah Indonesia, Amerika Serikat Suarakan Penundaan dan Perubahan Kebijakan EUDR

Sementara Front Pembela Islam (FPI) dan sejumlah ormas lain terus menentang kepemimpinan Ahok. Mereka juga menolak mantan politisi Partai Gerindra tersebut menduduki posisi gubernur. Alasannya, Ahok nonmuslim.

Selain itu mereka menilai Ahok arogan dan kasar. Namun, Ahok tak ambil pusing dengan masalah tersebut. Ia juga cuek dengan manuver politik sejumlah politisi di DPRD DKI Jakarta. Sebaliknya, Ahok sedang bekerja keras merampingkan pegawai di jajaran Pemprov DKI Jakarta dan memaksimalkan kinerja mereka sepeninggal Joko Widodo atau Jokowi.

Kehadiran Anies dan Muhaimin di KPU Tunjukkan Kedewasaan Politik meski Pahit, Menurut Pengamat

Pria kelahiran 29 Juni 1966 itu sempat menjabat sebagai Bupati Belitung Timur pada 2005-2006. Dia kemudian menjadi anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014 dari Partai Golkar.

Namun pada 2012, lulusan sarjana teknik geologi, Universitas Trisakti itu memilih mundur agar bisa mengikuti Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Kala itu, Ahok berpasangan dengan Jokowi. Pasangan ini memenangkan pertarungan tersebut. 

Jokowi kemudian terpilih sebagai Presiden RI, melalui Pilpres 2014. Jokowi kemudian mengundurkan diri dari jabatan gubernur tanggal 16 Oktober 2014. Secara otomatis, Ahok kini menjadi Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta.

VIVAnews beberapa waktu lalu menyambangi pejabat yang selalu menjadi buah bibir ini. Berikut petikan wawancara yang dilakukan di ruang kerja Ahok di lantai dua Balai Kota Jakarta, Jumat 17 Oktober lalu:

Jadi kapan Anda dilantik sebagai gubernur?

Pelantikan kita tunggu DPRD.

Jika DPRD tak kunjung melantik?

Jika tak dilantik selama satu bulan, dilantik oleh presiden melalui Kemendagri.

Jadi, meski tak dilantik DPRD, Anda tetap akan menjadi gubernur?

Iya. Karena undang-undang tidak bisa dielakkan. Saya sekarang jadi gubernur.

Kalau dulu masih pakai plt (pelaksana tugas) dan fungsi saya sekarang sudah full. Ini beda ketika saya masih menjabat sebagai plt Pak Jokowi.

Di situ dicantumkan saya tidak boleh mengambil keputusan yang berlawanan dengan gubernur nonaktif. Karena, dia masih bisa kembali.

Artinya sekarang masalahnya adalah memilih wakil gubernur?

Tidak juga. Saya bisa menentukan sendiri. Kan DKI memakai undang-undang khusus.

Sudah empat gubernur yang dipilih jadi wakil gubernur atas izin presiden. Tidak ada urusannya dengan DPRD.

Saya akan memilih sendiri. Mereka bilang saya tak mengerti undang-undang. Padahal kebalik, mereka yang gak ngerti undang-undang.

Lalu siapa yang akan Anda pilih?

Saya bisa milih Pak Djarot Saiful Hidayat [mantan Wali Kota Blitar], tergantung PDIP ngasih atau tidak.

Kalau kisruh di politik kita pilih aja Bu Yani [Sarwo Handayani, Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta]. Dia itu tahu semua birokrasi yang baik. Kalau dari dalam ada yang kerjanya lebih bagus saya akan tarik jadi wakil gubernur.

Apakah bisa?

Bisa, asalkan Pak Jokowi mau tanda tangan. Karena undang-undang sudah mengatur begitu.

Apa istimewanya Pak Djarot?

Minimal 10 tahun jadi wali kota di Blitar dia bisa dibilang sukses.

Kenapa Anda menolak calon yang disodorkan partai?

Saya tidak bilang nggak. Saya pilih yang sudah teruji dan pernah kerja. Karakter seseorang diuji ketika dikasih kekuasaan.

Kalau dari karakter, saya akan pilih Yani karena pernah ikut saya dua tahun dan disuruh apa pun selesai semuanya.

Bagaimana dengan  M Taufik dari Gerindra?

Itu tak ada urusan. Apalagi Taufik, itu bisa gawat. Di KPUD aja bisa masuk penjara apa lagi di DKI. Di DKI Rp80 triliun bisa berantem sama saya nanti.

Apa benar Anda lebih memilih menjadi plt gubernur?

Itu namanya hiperbolik, menyindir mereka [DPRD]. Kan mereka gak ngerti masalah. Mereka berpikir mau menyandera dengan tidak melantik saya.

Tidak semua ya, tapi Taufik dan teman-temannya. Justru saya tahu kalau dia tidak ngerti undang-undang.

Aku isengin, takut-takuti dia. Kalau saya dilantik kerjanya kurang dari dua setengan tahun saya dihitung satu periode.

Pada 2022 saya nyalon lagi pasti dia panik, mereka nggak rela kan. Itu aku kerjain. Saya tahu kalau undang-undang mengatur kalau gak dilantik, ya presiden yang melantik. Wong presidennya temen saya kok.

Bagaimana dengan penolakan FPI?

FPI juga nggak semua nolak. Ormas, NU, dukung saya. Sebenarnya mereka nggak ngerti masalah. Mungkin ada oknum bayarin gitu kan.

Setelah menjabat gubernur, apakah nantinya akan ada yang berubah dari Anda?

Ibarat kita main drama, kita harus latihan dulu sebelum memerankan orang lain.

Untuk bermain drama satu jam, bisa sampai tiga bulan latihannya. Kalau saya menjadi gubernur selama tiga tahun, berarti butuh berapa lama saya harus latihan. Nggak mungkinlah [berubah].

Apa prioritas Anda setelah menjadi gubernur?

Kita mengikuti yang sudah dilakukan Pak Jokowi. Paling utama dari dulu reformasi birokrasi. Visi pertama birokrasi harusnya melayani.

Apa kemajuan reformasi birokrasi di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta?

Program lelang jabatan cukup memuaskan dan masyarakat mulai merasakan. Meski masih ada satu dua yang belum beres.

Masyarakat bisa SMS langsung ke kita. Kalau gubernur sebelumnya belum ada hubungan.

Kalau sekarang, datang saja bisa ketemu dengan Ahok. Dulu orang tidak bisa nyentuh lantai sini [ruang kerja Ahok]. Petugas cleaning service aja belum tentu bisa, apalagi di Balai Kota tempat gubernur, lebih tertutup.

Kira-kira bagaimana ritme kerja Anda sebagai gubernur?

Sama saja. Karena selama ini juga saya ikut merasakan mengerjakan tugas gubernur, semisal soal urusan surat-menyurat.

Karena setiap surat ke gubernur pasti ada tembusan ke saya. Jadi saya ikut membaca.

Apakah Anda juga akan blusukan seperti Jokowi?

Kita tidak mungkin seperti beliau. Karena ditinggal dua jam saja kerjaan sudah menumpuk di meja. Pak Jokowi bisa blusukan karena ada saya di kantor.

Bagaimana dengan pengelolaan kecamatan dan kelurahan?

Kita ingin kecamatan dan kelurahan seperti manajer di perumahan. Dan kita kasih 50-100 PHL (pegawai harian lepas).

Kalau seperti menyapu, mengepel itu semua dari kelurahan dan camat dan bayarnya langsung di keuangan saja. Kalau di swasta kalau habis beli ini nagihnya di keuangan BPKD kan? Tapi kok lucu BPKD dipindahin lagi ke semua kelurahan dan camat. Itu ngapain.

Kita punya bank sendiri langsung transfer saja. Kita akan coba ini di 2015. Tentu akan banyak perlawanan, tapi biarin saja. Kita adu kekuatan. Di 2016 dia tidak akan tahan sama saya.

Bagaimana dengan program perampingan jumlah pegawai?

Kita sudah rampingkan menjadi 6.000 an dan terpotong 1.200 jabatan. Ke depan kita akan mulai memikirkan rumah sakit. Bagaimana rumah sakit itu bisa mengurus orang termasuk yang sudah sekarat.

Kenapa?

Karena orang miskin tidak ada yang ngurusin, termasuk orang yang terganggu mentalnya. Kalau dia miskin siapa yang akan ngurusin.

Apakah panti sosial belum cukup?

Belum. Orang masuk panti gak suka. Kalau saya gangguan jiwa, keluarga saya bawa saya ke rumah sakit, saya akan marah.

Tapi kalau saya diajak ke rumah biasa kayak rumah teman padahal di dalam ada psikolog, ada dokter terus ada temen-temen yang sama kan aku merasa kayak di rumah sendiri. Sekitar 11 persen orang Jakarta itu gila atau gangguan jiwa dan lebih dari setengahnya berat.

Menurut Anda mengapa ormas anarki masih marak di negeri ini?

Kalau menurut saya, mungkin waktu dulu HUT-nya mereka, Kapolda [Metro Jaya] datang, gubernurnya datang, makanya ngelunjak.

Coba Kapolda sekarang, pasti dibabat. Pasti nggak berani pegang pedang lagi. Kapolda sudah minta ke Kemendagri untuk bubarin ormas tersebut, masalahnya di Mendagri aja.

Lalu bagaimana penanganan ormas anarki ini ke depan?

Kita lihat aja mendagri ke depan siapa. Kalau saya mendagrinya, saya bubarin aja.

Bagaimana dengan PR Pak Jokowi?

Semua PR sudah berjalan, tinggal nunggu waktu saja. Karena tidak ada kontraktor Aladin.

Saya tidak khawatir kalau ada yang mengganjal saya. Kalau ada yang macam-macam, saya juga tidak butuh wakil kok.

Kalau ada yang aneh-aneh tinggal laporin aja ke Pak Jokowi sebagai presiden.

Bagaimana dengan penanganan banjir, macet dan persiapan ASEAN Games?

Kita akan kerjakan. Masalahnya, kita gak bisa ngebut. Karena orang tinggal di pinggiran kali sudah 30-40 tahun. Harus siapkan rumah susun dulu, itu juga masih terhambat. (ita)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya