Mayoritas Rakyat Crimea Pilih Lepas dari Ukraina, Bergabung ke Rusia

Para warga di Crimea memilih bergabung ke Rusia
Sumber :
  • REUTERS/Thomas Peter
VIVAnews
Vespa World Days 2024 Pecahkan Rekor di Pontedera
- Mayoritas penduduk di Semenanjung Crimea, Ukraina, memilih wilayah mereka untuk bergabung ke Rusia setelah hasil referendum yang berlangsung pada hari Minggu waktu setempat. Namun, hasil referendum itu ditentang sebagian rakyat Ukraina di sebelah barat, yang menuduh ini upaya merupakan muslihat dari Rusia dan tidak akan membiarkan Crimea lepas dari kesatuan Ukraina.

Kemnaker Mendukung Penataan NLE dengan Diimbangi Peningkatan Pelindungan Kerja TKBM di Pelabuhan

Menurut kantor berita
Musim Mudik Lebaran 2024, TPI Imigrasi Soetta Catat Pergerakan Penumpang Naik 10 Persen
Reuters , dengan mengutip ketua komisi referendum setempat, Mikhail Malyshev, lebih dari setengah kertas suara telah dihitung dan 95,5 persen menyatakan Crimea harus bergabung ke Rusia. Referendum di Crimea hanya ada dua pilihan, membuat wilayah itu jadi lebih otonom atau bergabung ke Rusia.


Tingkat kehadiran referendum sebanyak 83 persen. Ini jumlah yang tinggi setelah sebelumnya muncul klaim dari sebagian penduduk di Crimea akan memboikot referendum.


Di suatu tempat pemungutan suara di Simferopol, ibu kota Crimea, puluhan warga antusias memberikan suara. "Saya memilih bergabung ke Rusia," kata Svetlana Vasilyeva. "Ini lah yang kami nantikan. Kami ini satu keluarga [dengan Rusia] dan ingin hidup dengan saudara-saudara kami," lanjut perempuan 27 tahun itu.


Dia menyatakan lebih baik bergabung ke Rusia ketimbang wilayahnya dikuasai Ukraina, yang pemerintahannya saat ini tidak menjamin keberlangsungan penduduk etnis Rusia di Crimea usai menggulingkan presiden sebelumnya lewat revolusi. "Kami ingin lepas dari Ukraina karena orang-orang Ukraina bilang kami adalah golongan yang lebih rendah. Bagaimana bisa tinggal di negara seperti ini?" kata Vasilyeva, yang berprofesi sebagai perawat. 


Dianggap Ilegal

Di Kiev, pemerintahan sementara Ukraina mengencam referendum itu. Perdana Menteri Arseny Yatseniuk menyatakan bahwa referendum itu bentuk manuver dari Rusia untuk mendapat legitimasi agar terus berkuasa di Crimea.


Rusia dalam dua pekan terakhir menempatkan pasukan tidak beratribut dan mendukung milisi pro Moskow di Crimea setelah Ukraina menggulingkan kekuasaan Presiden Viktor Yanukovych yang pro Moskow. Crimea merupakan wilayah otonomi khusus yang mayoritas penduduknya (58%) berbahasa Rusia, sisanya adalah etnis Ukraina dan Tartar.


Sementara itu, ungkap stasiun berita
BBC
, sebagian besar etnis Tartar di Crimea memboikot referendum. Mereka merasa hidup tidak akan lebih baik bila di bawah kekuasaan Moskow.


Refat Chubarov, pemimpin masyarakat Tartar, menyatakan referendum itu ilegal dan berlangsung di bawah kendali pasukan Rusia. "Nasib tanah air kami tidak bisa ditentukan oleh referendum demikian, yang berada di bawah bayang-bayang senjata tentara," kata Chubarov.


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya